CURHAT SEORANG ANAK ‘KORBAN’ BROKEN HOME
Ilustrasi (Sumber: Detik.com) |
Tabik…
Sebelum mulai nulis
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan judul di atas saya mau gugling dulu yaa….
Berdasarkan data yang dikutip detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (12/12/2019), sebanyak sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.
Oke terima kasih sudah
memberikan saya waktu untuk gugling. Iya kenapa?? Gapapa atuh kan biar base
on data, kalo kata orang-orang mah biar kompetibel eh ekuntabel yaa itulah
intinya bel bel gitu, males gugling lagi…
PERTAMA yang dibahas Mahkamah
Agung hanya mengenai jumlah kasus perceraian. Gak ada yang bahas ‘BERAPA
JUMLAH ANAK KORBAN PERCERAIAN??’
Apa gak ada yang
peduli sama kita? Oke gini aja lah, dari jumlah pasangan yang bercerai itu kita
anggap setengah saja yang sudah memiliki satu orang anak. Jadi ada 209.634 anak
yang menjadi korban dari perceraian itu. Mungkin dari jumlah tersebut banyak
anak-anak yang terpaksa mengubur impian mereka untuk menjadi Dokter, Presiden,
Guru atau apapun itu. Disadari atau tidak, anak-anak korban perceraian memiliki
masalah setengah lebih berat dari anak-anak lain yang tumbuh dalam keluarga
yang utuh dan harmonis. Terlebih lagi kalo kondisi perekonomiannya menjorok
kebawah.
Oke, saya kira cukup
lah ngegas dan marah-marahnya, saya akan focus saja pada sesi curhat pengalaman
saya sebagai ‘Anak Korban Broken Home’ . Orang tua saya berpisah ketika
saya menginjak usia berapa yaa? Oke saya sepertinya gak ingat. Memang terkadang
otak selalu memfilter apa dan mana saja hal-hal yang perlu diingat dan
dilupakan. Dan sepertinya untuk hal itu, otak saya memilih untuk melupakannya. Pokoknya
saya masih kecil lah, entah 3,4 atau 5 tahun.
Selepas kedua
orang tua saya berpisah, saya tidak tau waktu itu ada polemik perebutan hak asuh
anak atau tidak (kek di pelem-pelem gitu kan) yang pasti saya tinggal bersama
dengan kakek dan nenek dari ibu. Yaa mereka menyayangi saya seperti anak mereka
sendiri, malah saya merasa paling di emaskan diantara cucu lainnya, dan ini saya rasakan ketika tinggal bersama kakek dan nenek dari bapak. Pada saat
itu saya masih belum paham kenapa saya tidak seperti teman-teman yang lainnya
yang tinggal dengan orang tua sendiri dan mengambil raport dengan ibu mereka. Sungguh
saya bersyukur pada masa itu tidak berfikir kearah sana. Saya tumbuh seperti kebanyakan
anak-anak seusia saya lainnya yang menjalani hidup dengan bahagia sebagaimana
mestinya, sampai pada suatu ketika…… jeng… jeng…jeng……….
Kala itu saya dan
teman-teman sedang bermain seperti biasa dan entah bagaimana awalnya kita mulai
main ejek-ejekan nama orang tua. Dan kala itu mereka tidak mengejek dengan menyebut
nama orang tua saya, mereka mengejek saya dengan kalimat “eh eh si deza mah bapana
aya dua siah (eh eh si deza itu bapaknya ada dua lho)”. Lalu dengan polosnya
kujawab “kajeun we, alus atuh, jadi lamun lebaran teh bakal loba anu mere duit
(biarin aja, bagus malahan, jadi kalau pas lebaran bakalan banyak yang ngasih duit.)”
Yaa emang
lumrahnya seperti itu anak-anak kecil di zaman saya (saling ejek) dan itu sama
sekali gak membuat saya sedih ataupun marah. Sungguh saya merindukan masa-masa
itu, tidak ada perasaan sedih ataupun marah ketika mengingat bahwa saya seorang
anak korban dari Broken Home. Setelah lulus Sekolah Dasar saya tinggal
bersama nenek dan kakek dari bapak, awalnya saya tidak mau karena mungkin sudah
terlalu nyaman tinggal bersama nenek dan kakek dari ibu. Seiring berjalannya
waktu, akhirnya saya mau juga tinggal dengan nenek dan kakek dari bapak sampai sekarang. Setelah
masuk SMP saya mulai bisa berfikir dan lebih mengerti mengenai kondisi orang
tua saya.
Sebentar…. Saya mikir
dulu nih mau nulis apa, bukan karena tidak ada bahan tulisan, tapi karena
terlalu banyak yang ingin saya tulis. Tapi kalo ditulis semua capek laahh… Oke
sudah saya putuskan, saya akan tulis yang menurut saya momen-momen penting yang
menjadi titik balik hidup saya dan hal-hal yang membentuk karakter saya menjadi
seperti sekarang ini.
Oke saya mulai
dari pertanyaan ini, “Apa yang kira-kira menjadi hal tersakit dari menjadi
seorang anak korban Broken Home ?
Jawabannya banyak
borr…. Hal yang paling sepele nih dan setahun sekali pasti dialami. Jadi ketika
momen Hari Raya Idul Fitri saya selalu
merayakan di rumah nenek dan kakek dari bapak sampai dengan saat ini, karena
nenek dan kakek dari ibu sudah wafat keduanya, Allahummaghfirlahum warhamhum
wa 'afihim wa' fu'anhum, semoga diterima seluruh amal ibadahnya dan
diampuni seluruh dosanya, Aamiin Allahumma Aamiin….
Jadi ketika
perayaan Hari Raya Idul Fitri, kan semua keluarga besar kumpul tuh di rumah,
semua komplit. Ada yang memakai baju couple keluarga, ada yang berfoto
bersama perkeluarga, dan tebak saya dimana??? Yaa palingan saya ngumpet main HP
di kamar atau di dapur sambil makan opor ayam, yang paling sakit adalah ketika
saya diminta untuk memfoto mereka bersama keluarganya. Kebayangkan sakitnya
gimana?? Apa?? Gak kebayang?? Yauda gapapa, kalian kan keluarganya lengkap dan harmonis. Saya mah Cuma
masyarakat kelas 3 di sini, gapapa gaperlu dikasihani…..
Anjayy…. Udah setengah
4 aja nih gak kerasa, berhubung baterai mulai lemah dan rokok mulai abis jadi
sepertinya curhat ini dicukupkan sampai disini saja.
Eh tapi satu lagi
aja nih nanggung,,,, ini kejadiannya baru-baru nih…
Jadi cerita
pendeknya saya kuliah nih di Jakarta, dan beberapa bulan yang lalu
Alhamdulillah saya sudah diwisuda. Nah bagi kebanyakan orang mungkin wisuda
adalah momen paling bahagia, tapi tidak buat saya. Saya malah merasa ngapain sih
harus ada wisuda kan saya jadi bingung ini undangan orang tua harus saya kasih
kesiapa……
Saya juga pengen
kayak temen-temen yang lain, ketika pemindahan toga disaksikan langsung sama
kedua orang tua, tapi ya apa daya. Kalo saya kasih undangan ke salah satu antara
ibu dan bapak pasti bakalan ada pihak yang merasa iri. Yauda saya putuskan
untuk tidak mengundang keduanya ke acara wisuda saya, tiap saya ditanya kapan
dan tanggal berapa wisuda, saya selalu jawab belum tau, masih belum ada
kejelasan dari pihak kampus.
Pokoknya hari-hari
menjelang wisuda kemarin, teman yang lain mah pada bahagia kan lah saya malah frustasi
sendiri. Tapi yang namanya orang tua pasti pengen liat momen ketika anaknya diwisuda,
mereka pun memaksa datang walau sebenarnya saya gak menyetujui.
Yaa mungkin itu sedikit
curhatan saya, seorang anak korban Broken Home yang sama seperti kalian mempunyai
mimpi dan membutuhkan kasih sayang. Saya tidak butuh dikasihani, cukup
perlakukan sebagaimana mestinya. Bagi saya itu cukup, tapi mungkin bagi anak-anak
korban broken home lainnya kalian harus lebih peka sama mereka.
Disadari atau
tidak itulah yang membentuk saya menjadi diri saya yang sekarang, saya bisa
menjadi lebih survive ketika mengalami permasalahan hidup, karena saya
sudah dilatih hidup sengsara dari kecil. Dan ini menjadikan saya bisa lebih
mandiri dalam hidup tidak bergantung kepada orang tua. Tuhan memang Maha Asyik,
terima kasih Tuhan, saya tau Engkau tidak akan memberikan cobaan diluar
kemempuan saya, dan saya yakin pasti Engkau sudah merencanakan hal yang sangat
indah untuk membayar semua ini.
Udah lah, capek…
lagian udah mulai Tahrim tuh di Mesjid…….
Thx…………………………………………………………………………..
Comments
Post a Comment